Senin, 15 Juni 2009

I LOVE SCHOOL

Asyiknya sekolah di Amrik

Belum genap sebulan sekolah usai tetapi aku sudah merindukan sekolah. Sekolah usai tanggal 19 Mei lalu bertepatan dengan hari terakhir ujian akhir bagi senior. Bagiku sekolah disini bukan hanya sekedar untuk menuntut ilmu tetapi juga hiburan. Bertemu dengan teman-teman dan materi yang diajarkan menarik. Ruangan kelas yang cukup luas serta fasilitas yang sangat lengkap, guru yang selalu ada sebelum dan sesudah jam sekolah. Aku benar-benar merindukan saat-saat seperti itu. Sangat terkejut saat aku menanyakan berapa biaya sekolah di USA sini. Mereka menjawab kalau semenjak di taman kanak-kanak hingga high school mereka tidak membayar apa pun alias gratis. Lucu juga mengingat di Indonesia ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang tujuannya agar mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama gratis dari biaya SPP. Tapi di lain itu siswa harus membayar seragam yang jauh lebih mahal dibanding jika beli sendiri di luar, membeli beberapa buku paket dan juga wajib membeli BKS (Buku Kerja Siswa) yang harganya juga mahal. Lalu dimana fungsi dari BOS yang katanya bertujuan meringankan biaya sekolah sehingga setiap anak berkesempatan memperoleh pendidikan? Kalau sebenarnya biaya selain SPP itu yang sangat mahal? Untuk buku paket, saat aku sekolah dipinjami secara gratis dan dalam kondisi bagus. Bukunya hard cover dan full color. Yellow pages saja tidak sebanding dengan besarnya buku paket yang dipinjami sekolah. Saat aku membawa pulang buku itu karena ada tugas, membawa dua buku sekaligus seolah mengangkut sekarung beras seberat 5 kg. Maka dari itu di USA sini setiap sekolah pasti ada loker yang digunakan untuk menyimpan buku atau barang lainnya keperluan sekolah. Tidak bisa membayangkan jika tidak ada loker mesti membawa buku setebal itu setiap hari ke sekolah. Selain itu juga ada bis sekolah yang siap mengantar jemput mereka secara gratis. Hanya perlu sign up saja, tidak ada biaya tambahan lain. Sekolah di USA sini bisa gratis dengan fasilitas yang lengkap karena pajak. Tiap orang disini pasti membayar pajak. Produk di toko ataupun di supermarket juga dikenakan pajak. Jadi uang yang kita belanjakan disini dan pajak yang kita bayar, pajak itu salah satunya digunakan untuk kepentingan pendidikan sehingga tidak dikenakan biaya apapun. Cukup terkejut saat beberapa minggu lalu menerima milis dari Forum Lingkar Pena (FLP) Jepang [Forum untuk para penulis Lingkar Pena Indonesia yang berdomisili di Jepang ataupun returnee] membahas mengenai beberapa sekolah yang tidak lulus 100% dan itu merupakan sekolah rintisan internasional. Menyadari itu aku terkejut betapa banyak sekolah negri di Indonesia yang berlomba-lomba untuk mendapatkan titel sekolah internasional dengan pengantar bahasa Inggris, menggunakan ruangan khusus, fasilitas khusus dsb, tetapi juga dengan biaya khusus yang fantastis. Apakah itu benar salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sekolah dan pendidikan? Atau itu hanyalah cara diskriminasi antara yang pintar dan bodoh atau kaya dan miskin. Atau itu hanyalah iklan dari sekolah untuk menjaring peminat? Bukankah sekolah didirikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945? Tidak semua manusia dilahirkan sangat cerdas. Bukan berarti aku tidak setuju dengan klasifikasi kelas khusus untuk anak cerdas. Bukankah akan lebih sangat indah jika yang cerdas membantu yang kurang cerdas untuk memahami pelajaran? Bukankah hakikat hidup itu seperti itu? Untuk apa menjadi cerdas jika hanya untuk diri sendiri? Seperti halnya di USA sini ada kegiatan tutoring, dimana siswa yang kemampuannya di atas rata-rata terhadap suatu mata pelajaran membantu temannya yang kurang paham dan itu dilakukan di luar jam pelajaran. Di USA sini syarat kelulusan berbeda dengan Indonesia. Mirip anak kuliahan dimana harus memenuhi angka credit tertentu. Credit untuk tahun ini adalah 22 dan mulai tahun depan akan dinaikkan menjadi 24. Jika belum bisa memenuhi credit, maka dipastikan tidak bisa lulus bersamaan dengan teman-teman yang lain. Tahun ini di Fort Zumwalt West (FZW) ada 6 orang yang tidak lulus karena credit-nya belum terpenuhi. Sungguh unik system pendidikan di Indonesia, terutama mengenai UAN. Bukankah tujuan dilaksanakannya UAN untuk menjaring siswa mana yang siap melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi? Kalau tujuan dilaksanakannya UAN untuk meluluskan semua siswa, maka kenapa harus ada UAN? Gagal bukan berarti kalah dengan segalanya. Seperti yang aku alami saat ini, aku gagal lulus SMA bersama teman-temanku yang lain, dan dipastikan aku tidak lulus SMA tahun ini karena tidak mengikuti UAN dan menjalani exchange student. Walau sebagian teman menertawakan, justru itu memacuku untuk lebih giat belajar lagi. Waktu bukanlah patokan. Ada berapa banyak mahasiswa yang gagal dalam mata kuliah dan mereka harus mengulang? Ada berapa banyak mahasiswa yang tidak bisa wisuda tepat waktu? Bukankah itu seperti lelucon mengetahui sekolah yang tidak lulus 100% karena curang malah diberi kesempatan untuk mengulang ujian? Sementara ada yang benar-benar jujur dan kebetulan tidak lulus malah tidak dapat kesempatan untuk mengulang ujian. Kapankah kita mulai menghargai kejujuran? Aku masih sangat ingat betul saat guruku precalculus, Mrs. Malach memotong habis nilai tugas seorang teman karena dia ketahuan mengcopy pekerjaan itu dari teman lainnya dan juga teman yang memberi contekan. Guru di USA relatif teliti dalam mengoreksi pekerjaan murid-muridnya, sehingga siapa yang suka mencontek pekerjaan orang lain pasti akan terlihat. Sementara itu di kelas Anatomy and Physiology, Mrs. Klem jauh terkenal lebih kejam. Saat ujian semester ada yang ketahuan mencontek, langsung nilai siswa tersebut mendapat nol. Aku merasakan bahwa nilai disini bukanlah patokan utama, tetapi kejujuran yang menjadi poin utama. Disini juga tidak ada sistem remidi. Tetapi jika kita jujur dengan usaha kita sendiri, guru disinipun tidak keberatan untuk membantu. Pernah sepulang sekolah Mrs. Klem membantuku mempelajari anatomy jantung babi karena aku masih belum jelas, bahkan dia dengan suka rela melakukan dissection lagi agar aku lebih paham. Malu juga menyadari kita yang dengan bangganya menyanjungkan bahwa Indonesia Negara timur, terkenal dengan keramahan dan sopan santunnya juga berbudi luhur, tetapi dalam hal simpel, masalah kejujuran terutama dalam ujian saja tidak terbukti. Tidakkah kita malu menjudge Amerika misalnya sebagai Negara tidak bermoral. Bukan bermaksud memihak salah satu pihak, tetapi siapa yang sebenarnya tidak bermoral? Kenapa kita tidak berkaca pada diri sendiri terlebih dahulu?

1 komentar:

abieyukino mengatakan...

niice posting nes !!

i'm extremely agree