Sabtu, 03 Januari 2009

NEW YEARS 2009. WHAT'S MAKE DIFFERENT?, SAFE AND UNSAFE PARTY



SAFE vs. UNSAFE PARTY

Jika kemarin aku menceritakan sekilas gambaran bagaimana bentuk party (pesta) di Missouri, Amerika Serikat yang tergolong sebagai “safe party” alias pesta yang aman yang bebas dari alcohol, rokok dan sebagainya. Kali ini aku akan menceritakan sedikit pengalaman tentang model pesta yang masuk kategori unsafe. Malam pergantian tahun 2008 menuju tahun 2009 merupakan momen istimewa di Amerika Serikat. Banyak sekali pesta yang diselenggarakan. Kebetulan aku juga mendapat beberapa undangan untuk merayakan pergantian malam tahun baru. Supaya aman, aku memilih untuk pergi bersama Paige (host sister) ke tempat salah satu temannya. Pesta di tempat Jake (teman Paige) ini tergolong pesta aman. Banyak sekali teman yang datang silih berganti. Uniknya, setiap orang yang datang masing-masing membawa makanan. Sehingga kita seperti saling berbagi makanan saja. Pusat kemeriahan pergantian tahun baru di Amerika Serikat adalah di Times Square, New York. Di sana banyak sekali artis dan penyanyi yang mengisi acara untuk memeriahkan pergantian tahun baru. Uniknya, sekitar satu menit mendekati 1 Januari 2009, ada bola Kristal raksasa yang diluncurkan sebagai penghitung waktu mundur. Lebih uniknya, karena di USA ini terbagi menjadi 4 daerah waktu, jadi bola Kristal itu pun meluncur 4 kali mengikuti pergantian tahun di masing-masing wilayah.

Nuansa natal masih cukup terasa di malam tahun baru. Hiasan natal masih terpajang manis di depan dan di dalam rumah. Menurut mom, hiasan natal itu baru akan dibereskan selambatnya seminggu setelah tahun baru. Tradisi tahun baru disini umumnya sama dengan Indonesia. Karena tepat tengah malam kami bersama-sama meniup terompet dan saling meneriakkan, “Happy New Year”.

Setelah itu, aku, Paige, dan beberapa teman lainnya menyempatkan diri ke rumah salah seorang teman lainnya, sebut saja namanya Gram. Aku mengenalnya dari Youth Club (semacam kelompok kerohanian Christiani remaja) yang beberapa kali aku hadiri. Saat pertama kali aku membuka pintu rumah Gram, tercium bau asap yang sudah tidak asing lagi, asap rokok. Sebelumnya, baik Paige dan temanku yang lain sudah memberi tahu ku kalau party di rumah Gram sedikit lain. Hanya karena mereka berteman cukup baik, maka setidaknya sekedar muncul saja di rumahnya itu akan jauh lebih baik. Terdengar suara dentaman music dari arah basement. Ternyata pestanya digelar di basement. Tangga yang ku lalui cukup gelap. Aku hanya bisa meraba-raba dan memasikan setiap langkah agar aku tidak jatuh. Asap rokok tercium semakin kuat. Dan ketika anak tangga telah hampir habis ku daki, tampak cahaya putih yang menyilaukan dan dentaman music yang cukup keras. Ternyata cahaya itu berasal dari lampu disco yang memsng sengaja dipasang. Cahayanya sangat menyilaukan mata. Ku kenali salah seorang temanku, sedang berjoget sendirian. Selain rokok, aku juga mencium aroma lain yang rupanya itu adalah aroma minuman keras. Terlihat beberapa gadis yang tidak ku kenal sedang duduk-duduk di dekat meja bar dengan latar belakang poster “Budweiser” salah satu merek alcohol, sedang menuangkan alcohol di gelas mereka. Sementara itu, di dekat pintu, ku lihat beberapa pria mengerubungi seorang pria yang sedang jongkok. Dia muntah-muntah karena tidak terbiasa minum alcohol. Kepulan asap rokok begitu pekat. Saat pintu sedikit dibuka, asap putih tersebut seolah-olah berebut keluar dan memberikan sedikit udara segar di hidung.

Gram tahu aku dengan pasti kalau aku tidak minum alcohol. Karena selain aku muslim, itu juga peraturan dari pihak AFS. Meski Gram dalam kondisi mabuk pada saat itu, bisa dikatakan kalau dia tetap menghormati kami. Tidak ada seorangpun di tempat itu yang mencoba menawari atau memaksa kami untuk minum. Dalam kondisi mabuk, Gram bercerita kalau orang tuanya tidak terlalu peduli apa yang mereka lakukan saat itu. Masih menurut Gram, orang tuanya tahu apa yang mereka lakukan saat itu. Mereka tidak pernah complain. Lebih lanjut Gram mengatakan kalau orang tuanya tidak begitu peduli dengannya. Gram sempat menunjukka koleksi “Amerika” nya. Dia menunjukkan kamar mandinya dengan nuansa sangat Amerika. Corak bendera Amerika sebagai tirainya dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia juga menunjukkan beberapa koleksinya yang bercirikan Amerika.

Kami di rumah Gram tidak begitu lama. Setelah itu kami kembali ke tempat Jake. Selama perjalanan, otakku berpikir keras. Tidak ada suatu Negara pun yang isinya orang baik semua demikian sebaliknya. Kalau kita men-judge bahwa apa yang dilakukan Gram dan temannya itu adalah buruk lalu memberi USA label negatif , kenapa kita tidak buka mata dan telinga lebar-lebar kalau sebenarnya kejadian itu juga sering terjadi di Indonesia yang notabene 80% penduduknya adalah muslim dan sudah sangat jelas kalau hukumnya haram? Lalu dimana kepedulian kita terhadap itu semua? Sekali lagi, dalam kasus Gram di atas tampaknya bahwa peran serta dan control orang tua sangat dibutuhkan. Sejauh manakah orang tua peduli terhadap anaknya?