Selasa, 03 Maret 2009

Do you believe in God?

kepercayaan untuk memeluk agama memang mutlak kebebasan setiap orang. memang benar jika USA mendapat julukan negara bebas seperti dalam national anthem yang selalu dinyanyikan setiap hari jum'at di sekolah "Oh the land of the free..."
salah satu hal yang masih sering mengejutkanku adalah jika ada seseorang yang mengatakan "i don't believe with God". kata-kata itu pertama kali aku dengar dari seorang teman ku di Senior Facs, Ashley namanya. dan baru kali itu aku tahu bahwa memiliki kepercayaan (agama) bukan merupakan suatu keharusan disini tetapi adalah merupakan suatu pilihan. kembali teringat perkataan Renan, exchange student dari Brazil. aku sangat takjub saat mengetahui dia tahu banyak tentang Islam mulai dari sholat, wudhu, makanan. dia sempat heran saat tahu aku makan daging disini karena masalah kehalalan. ternyata dia punya teman dekat muslim di Brasil maka dia tahu banyak. dengan sedikit kesulitan aku menjelaskan bahwa aku menghindari makanan yang jelas2 haram seperti babi. yang membuatku terlongok kaget adalah saat mengetahui dia agnostic (hanya percaya bahwa Tuhan itu ada tetapi tidak menganut suatu agama apapun). dia bilang lebih lanjut bahwa dia dalam masa pencarian agama (aku mengamini dalam hati bahwa semoga kelak islam lah yang ada di jiwanya). weekend lalu sempat diajak jalan judith nonton film-nya jonas Brother (Jonas Brother adalah band yang saat ini sedang heboh). ada isil dari turki juga yang diajak nonton. turki dalam bayanganku identik dengan islam terutama akan kerajaan turki ottoman. aku menganggap bahwa itu adalah salah satu negara islam. bahkan mas ku dulu sekali pernah bilang saat aku mendaftar pertukaran pelajar ada nggak negara tujuan turki karena selain sekolahnya bagus itu juga negara islam. disini aku berusaha untuk menghindari pertanyaan pribadi seperti agama misalnya karena itu privasi sekali. aku terkejut saat dulu di rumah diane isil (dari turki) itu makan bacon. aku hanya mengira dia christian. terkejut saat di mobil menuju ke movie theatre saat judith menanyakan apakah dia pergi ke gereja bersama hostfam nya dia menjawab tidak dan dengan santainya dia bilang, "i'm atheis. i don't believe in God". meski saat winter orientasi lalu dia sudah pernah cerita bahwa dia tidak beragama aku masih saja terkejut mendengar pengakuannya. teringat saat awal kedatangan di USA, orientasi di Washington D.C. seorang cowok dari turki menjelaskan dalam diskusi bahwa "turki is not moslem nation". akhirnya perkataan itu jelas artinya saat isil menjelaskan dengan lebih gamblang kalau banyak sekali orang di turki yang atheis. hanya saja sekarang yang duduk di pemerintahan kebanyakan dari partai islam. oh ya pertanyaanku tentang si Ecem (teman sekamar dari turki) dan dia mengaku kalau dia islam tetapi tidak tahu sholat itu apa semakin meyakinkanku kalau turki itu negara islam adalah salah. saat aku iseng tanya kenapa dia tidak percaya tuhan kata-katanya semakin membuatku untuk merenung. "because i born in the family who isn't believe in God. if i were born in religious family for example, probably i'll be religious too" (karena aku dilahirkan di keluarga yang tidak percaya akan adanya tuhan. jika aku dilahirkan di keluarga yang taat beragama, bukan tidak mmungkin aku juga menjadi seseorang yang taat beragama juga). bukan berarti aku sependapat dengan apa yang dipercayai isil. tapi apa yang dia omongkan ada benarnya juga. seberapa sih dari kita yang beragama karena orang tuanya? lihat pada diri kita masing2. apakah kita sreg dengan agama yang sekarang kita anut? apakah bagimu agama sekedar tempelan? karena setahuku beragama merupakan requirement di indonesia atau paling tidak bisa buat penghias KTP. lihat jauh di lubuk hati kita. benarkah walau kita beragama sekarang tetapi yakinkah jika dalam hati kita yakin bahwa tuhan itu ada? janganlah jadi munafik. berapa banyak orang dari kita di indonesia yang mengaku muslim (negara dengan penduduk islam terbesar di dunia) yang mendirikan sholat, puasa, dan mengerjkan kebajikan lainnya? berapa banyak yang mengaku christian tetapi untuk ke gereja yang hanya seminggu sekali saja sering absen? bukan berarti aku membenarkan atheis, tetapi lihatlah kemunafikan pada diri kita. apa artinya jika kita mengaku muslim tapi solat aja nggak? suka minum-minuman? untuk christian tidak pernah ke gereja dan juga agama lainnya tidak melaksanakan apa yang seharusnya mereka laksanakan sesuai kitab suci masing2? tidak malukah? kenapa tidak mendeklarasikan diri sebagai atheis? toh kita munafik kan. mengaku beragama tetapi tidak menjalankannya. setidaknya ada salah satu sisi positif dari seorang atheis yaitu mereka tidak munafik. sekali lagi bukan berati aku atheis dan setuju dengan atheis, tidak, sama sekali aku tidak setuju. menanggapi perkataan isil yang dia menjadi atheis karena keluarganya aku terus berpikir. dia kan punya otak, sudah lumayan besar dan bisa mikir. yang aku tidak habis pikir adalah bagaimana mungkin dia tidak percaya akan adanya tuhan. bagaimana dia bisa menjelaskan adanya dunia ini? kehidupan? kematian? ilmu science pun tidak mampu menungkap itu semua. ain't a perfect person too. terkadang solat bolong juga (sitkon tidak memungkinkan). kalau pas di indonesia sih solat bolong karena m-a-l-a-s. tetapi disini aku sadar, jauh dari semuanya disaat tidak ada yang aku gantungkan, hanya kepada-Nya lah kita berpaling. kita yang butuh, agama bukan merupakan suatu titel lagi bagiku, tetapi jiwa juga. meskipun seringnya aku ke gereja atau ikut perkumpulan grup gereja tidak membuatku luntur akan kepercayaan yang aku kenal sejak lahir saat bapakku mengumandangkan adzan di telingaku. aku sempat iri dan takjub dengan Paige, karena menjadi christian adalah pilihannya dan dia benar-benar konsisten akan itu semua. sementara aku? tidak ada kata terlamabat untuk menuju ke arah yang lebih baik. di usia ku yang sekarang ini, baru aku merasakan aku bebas memeluk agamaku ini, islam. karena sebelumnya meski aku juga sholat, puasa, hatiku belum benar-benar terpatri akan islam melainkan karena keluarga besarku hampir semuanya muslim, istilahnya "warisan islam". semua pilihan kembali ke kita. akan tetapi tidak malukah kita menjadi seorang yang munafik?

Minggu, 01 Maret 2009

SEMINGGU DI SHELBYVILLE (USA ada desanya juga loh)

Seperti yang sudah ku ceritakan sebelumnya bahwa mulai tanggal 7-14 Februari, aku akan tinggal “sementara” di kota kecil, Shelbyville. Masih teringat percakapan dengan dr. Teguh Prartono sebelum aku berangkat ke Amerika dan beliau mengatakan bahwa biasanya para exchange students ke Amerika akan ditempatkan di daerah pedesaan. Saat itu aku berpikir seperti apa ya daerah pedesaan di Amerika? Kebetulan waktu itu aku belum tahu kemana kota tujuanku setelah tiba di Amerika. Jadi aku belum bisa menjawab pertanyaan beliau kemana aku akan pergi. Setelah tiba di Missouri, barulah aku tahu bahwa aku akan tinggal dengan host family di O’Fallon. O’Fallon bagiku bukan merupakan “kota besar”. Meskipun orang di Missouri mengatakan bahwa O’Fallon cukup besar. Karena dasarnya adalah O’Fallon merupakan kota berkembang dengan perkembangan yang sangat fantastis selama 10 tahun terakhir, tentu saja kalah besar dengan “hingar-bingarnya” St. Louis (metropolitannya Missouri). Barulah aku mengangguk setuju bahwa O’Fallon kota cukup besar saat aku hijrah sementara ke Shelbyville. AFS Gateway Missouri (AFS G-Mo) punya tradisi khusus tiap tahun yaitu Short Term Exchange (STE) dimana exchange students yang mendapatkan penempatan di kota kecil mendapat kesempatan untuk merasakan tinggal di kota besar selama seminggu dan sebaliknya. Shelbyville terletak sekitar 115 miles (185 km) atau sekitar 3 jam perjalanan dengan mengendarai mobil. Jarak yang cukup panjang dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat jika dibandingkan dengan di Indonesia karena umumnya jalanan antar kota adalah highway (mirip dengan jalan tol di Indonesia tetapi kita tidak perlu membayar). Jadi tidak ada kemacetan dan kendaraan bisa meluncur dengan lancar karena ada empat jalur. Tempat kami bertemu adalah di kota Bowling Green karena kota itu terletak di tengah-tengah antara O’Fallon dan Shelbyville. Begini ceritanya kenapa aku bertemu dengan keluarga angkat Shelbyville di Bowling Green. Hostfam di O’Fallon mengantarku sampai di Bowling Green dan Hostfam di Shelbyville menjemputku di Bowling Green. Begitulah mekanismenya sehingga aku bisa sampai di Shelbyville. Saat aku memasuki kota Bowling Green, aku sudah cukup terkejut menyadari betapa kecilnya kota itu. Waktu itu sekitar pukul 6 pm (18.00) tetapi seolah pada jam itu penduduk lenyap. Seperti kota mati yang sepi. Sempat kebingungan untuk mencari tempat dimana Bankhead berada dan kami tidak menemukan orang untuk sekedar menanyakan dimana letak Bankhead. Bankhead adalah nama chocolate factory. Sekedar informasi bahwa Bankhead adalah chocolate factory terbaik di Missouri. Akhirnya aku bertemu dengan keluarga angkatku selama di Shelbyville. Dari balik jeep, keluarlah sosok wanita muda yang ku perkirakan usianya dibawah 40 tahun datang menyambutku. Teresa namanya. Oh ya aku akan tinggal bersama keluarga Keller selama di Shelbyville. Teresa adalah seorang petugas kesehatan di klinik kecil di Shelbyville sementara suaminya, Paul adalah pensiunan militer Amerika. Mereka pernah tinggal di Inggris selama 3 tahun dan terus berpindah tempat selama di Amerika berhubungan dengan pekerjaan Paul. Mereka punya dua anak perempuan, Amy Keller (17 tahun) dan Hannah Keller (12 tahun). Dari Bowling Green untuk menuju ke Shellbyville dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Maka Teresa memutuskan untuk istirahat sekaligus makan malam di kota Hannibal. Hannibal adalah kota tempat Mark Twain dilahirkan. Siapakah Mark Twain? Dia adalah salah seorang penulis terkenal. Dibandingkan dengan Bowling Green, Hannibal tampak lebih hidup dan jauh lebih besar. Indikasinya kota itu layak disebut kota besar atau tidak kalau menurutku sih gampang saja. Jika kota itu banyak orang dan banyak resto fast food maka bisa dikatakan kalau itu kota besar (menurut definisi ku). Kami pun singgah sejenak di Burger King (salah satu fast food yang cukup digemari di USA). Aku melihat seperti ada pesta ulang tahun di dalam karena begitu banyak orang. Saat aku melangkah masuk, tampak semua mata tertuju ke arahku. Tidak terkecuali juga pelayan di Burger King yang bertugas menerima order dari pembeli tampak menatapku heran. Akhirnya baru aku menyadari apa yang membuat mereka menatapku sedemikian herannya. Ya aku menyadari masalah jilbabku (mungkin itu aneh dimata mereka dan kemungkinan mereka berpikir kalau aku tidak mempunyai rambut maka dari itu aku menutup kepalaku). Mereka memang tidak berkomentar apa-apa. Tetapi dari cara mereka memandang tentulah kita bisa memahami arti pandangan mereka. Jujur saat aku sedang jalan di area O’Fallon atau St. Louis (kota besar umumnya), orang-orangnya cenderung cuek. Tidak ada yang memperhatikan satu sama lain. Aku sih hanya tersenyum saja menyadari itu semua. Sedikit banyak pengalamanku di Hannibal itu menyiratkan tanya dalam benak. Mungkinkah di Shelbyville nanti aku adalah muslim pertama yang menginjakkan kaki disana? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti terus kisahku seminggu di Shelbyville.


-------------------------------------------------------------------------------------


Bisa dipastikan jika setiap orang Indonesia ditanya tentang USA, gemerlap kotanyalah yang akan terbayang. Tetapi tahukah jika di Amerika pun ada daerah country alias pedesaan? Hanya selisih 3 jam perjalanan dengan mobil antara O’Fallon dan Shelbyville tetapi benar-benar berbeda 180 derajat. Perjalanan dari Hannibal ke Shelbyville masih sekitar 1 jam tapi sudah mulai kurasakan perbedaannya. Sepanjang perjalanan yang ku lalui sangatlah sepi. Hanya ada satu dua truk yang melintas. Aku tidak melihat adanya bangunan. Aku masih bisa maklum karena kami melintasi highway. Highway itu seperti jalan tol kalau di Indonesia tetapi kita tidak perlu membayar untuk melewatinya. Hingga akhirnya Teresa keluar dari highway dan berkata, “Welcome to the Shelbyville.” Sedikit terkejut karena hanya gelap yang dapat ku lihat (maklum malam hari) ditambah tidak ada kendaraan lain yang melintas (perkiraan waktu sekitar jam 8 malam) dan jalan yang ada hanya dua jalur (bukan 4 jalur seperti yang biasa ku ketahui). Jalan sangat begitu lengang ditambah dengan tidak ada kendaraan lain yang melintas atau pun bangunan yang dapat ku lihat. Hanya hamparan lahan yang luas yang dapat terlihat. Aku perkirakan itu adalah area persawahan. Lebih lanjut Teresa menjelaskan kalau di Shelbyville hanya ada satu gas station (pom bensin), satu grocery store (mini market, yang ukurannya jauh lebih kecil dari indomart), dan satu restaurant family. Jadi paling tidak Teresa harus pergi ke kota besar terdekat seperti Hannibal atau pun Quincy (letak Quincy di state Illinois) jika ingin membeli kebutuhan lainnya. Keterkejutanku belum berhenti sampai disitu. Saat berbelok menuju jalan masuk ke rumah, jalanannya belum beraspal. Pantas saja mobil Teresa tampak kotor dan berdebu sehingga membuat celanaku belepotan lumpur. Mulai dari jalan masuk sampai ke rumah Teresa hanya ada 3 rumah. Benar-benar in the middle of nowhere. Nyaris tidak ada apa-apa. Bahkan tetangga pun tidak ada. Tampak sebuah rumah yang cukup besar dengan pelataran lahan yang sangat luas dan pagar besi untuk memagari anjing dengan 2 anjing besar di dalamnya. Rumah tampak sepi karena Paul, suami Teresa masih ada di Texas selepas kematian Ayahnya pada tanggal 17 Januari lalu. Malam itu aku hanya sempat bertemu dengan Hannah, putri bungsu Teresa yang berusia 12 tahun. Sementara Amy, putri sulung Teresa yang berusia 17 tahun sedang mengikuti pertandingan basket karena dia adalah manager tim basket di sekolahnya, North Shelby. Rumah Teresa cukup besar. Jauh lebih besar dengan rumah mom yang di O’Fallon yang berdempetan dengan rumah lainnya (seperti perumahan di Indonesia hanya saja tidak terlalu rapat berdempetan). Keesokan paginya aku dapat bertemu dengan Amy dan aku juga berkesempatan untuk sekedar jalan-jalan sekeliling rumah bersama Teresa dan tentu saja ditemani dengan dua anjing yang besar itu. Aku merasa berada di hutan rimba. Walaupun musim dingin yang mengakibatkan tumbuhan dan pohon-pohon seolah mati, tapi aku bisa membayangkan betapa lebat dan hijaunya tempat ini saat musim panas. Disekitar rumah itu banyak sekali pohon-pohon besar yang gundul, mirip dengan hutan juga ada sungai kecil yang mengalir. Jika melangkah lebih jauh lagi mulai tampak area persawahan dengan traktor yang sangat besar. Juga ada kolam buatan yang cukup besar. Tempat ini sangat cantik bila summer tiba. Kalau saat musim dingin sih, pemandangannya jelek sekali. Tumbuhan seolah-olah mati dan menjadi coklat. Menurut Teresa, sering beberapa rusa muncul berkeliaran dan rusa-rusa itu memang rusa liar. Rusa itu bisa diburu hanya dalam waktu tertentu. Siang itu untuk lunch Teresa memesan pizza. Tidak ada delivery service (layanan pesan antar). Sehingga kami harus mengambil pizza itu ke sana. Membutuhkan waktu 20 menit untuk mencapai semacam kafe yang cukup besar dengan pengunjung yang ramai itu. Amy bercerita tentang sekolahnya di North Shelby. Mulai dari kindergarten (taman kanak-kanak) hingga high school (setaraf sekolah menengah atas) terletak di bangunan yang sama. Hal yang membuatku terbengong-bengong adalah total jumlah murid yang hanya sekitar 200-an. Jadi hanya ada sekitar 30-an siswa stiap tingkatnya. Klasifikasi di sekolah ini lebih unik lagi. Tidak ada yang namanya middle school dalam tingkatannya. Hanya ada kindergarten, primary school (grade 1-6) dilanjutkan dengan high school (grade 7-12). Saat aku berkunjung ke North Shelby bertepatan dengan spirit week (aku sudah pernah membahas tentang ini sebelumnya). Hari pertama masuk sekolah aku begitu penasaran seperti apa sekolahnya. Apalagi sekolah dimulai pukul 8.30-15.10. Teresa mengantarkan kami ke sekolah. Dibutuhkan waktu sekitar 10 menit dari rumah untuk sampai di sekolah. Dengan bercanda Amy menerangkan kalau aku tidak perlu khawatir tersesat karena sekolahnya sangat kecil. Akhirnya aku pun tiba di sekolah. Bisa dikatakan bahwa sekolah adalah bangunan terbesar di Shelbyville. Sekolah masih cukup sepi. Saat aku memasukinya terlihat lorong sekolah yang tidak begitu panjang. Lantainya yang berwarna coklat sangat kontras dengan loker yang berwarna merah menyala. Sekolahnya ku perkirakan tampak cukup tua dilihat dari karakteristik bangunannya. Aku segera duduk di bangku kayu yang ada di dekat loker. Tidak berapa lama beberapa guru datang menghampiri sambil mengucapkan selamat datang. Setelah itu datanglah Mr. Exkel, school principle (kepala sekolah) datang menyambutku dengan hangat. Beberapa siswa yang datang tampak memandangku dengan perasaan kagok. Aku perhatikan kalau siswa di sekolah ini tidak terlalu heterogen, maksudku tidak banyak pendatang. Aku juga tidak melihat orang Afrika-Amerika. Dalam tingkah laku bisa dikatakan mereka cenderung lebih sopan dari sudut pandang tata cara Indonesia. Di O’Fallon, kami biasa saling berpelukan jika saling ketemu. Dan juga dipastikan setiap pergantian jam di lorong sekolah atau di sekitar tangga banyak sekali pasangan yang sedang asyik berciuman. Bahkan tidak jarang saat di kelas. Terutama siswa ceweknya selalu heboh dalam penampilannya. Dandanan mereka seperti hendak pergi ke acara fashion show lengkap dengan make up, high heels, dress, beserta aksesori serupa. Benar-benar seperti sekolah modeling. Sementara di North Shelby, saat spirit week keebtulan temanya adalah berdandan ala selebritis pujaan. Ada seorang cewek, namanya Olivia. Dia memakai rok mini sekitar 5 cm di atas lutut dan sepatu boots sampai betis, teman-temannya memanggilnya hooker (panggilan terhadap wanita tuna susila). Sementara di O’Fallon, Memang ternyata di North Shelby ada peraturan yang cukup ketat mengenai berbusana. Bahkan kepala sekolahnya pun tidak segan-segan menghukum langsung muridnya jika dia melanggar peraturan atau bersikap tidak sopan. Masalah yang ku hadapi di sekolah itu adalah saat lunch. Kantinnya sangat kecil ditambah dengan hanya menyediakan satu menu makanan. Siswa hanya perlu men-scan kartu lunch mereka dan kemudian membayarnya belakangan. Sementara aku hanya disini untuk seminggu maka aku membayar hanya dengan seharga $1,5 tiap harinya. Memang jika di rupiahkan akan tampak sangat mahal. Tapi jika dibandingkan dengan harga makanan di akntin sekolah di O’Fallon yang harga 1 burger $1,6. Menu makanan di North Shelby termasuk komplit. Karena dilengkapi juga dengan salad, buah, susu, dan pendamping lainnya yang dapat diambil sebanyak yang kita suka. Masalah muncul saat menu makannya adalah ham sandwich dan corn dog (seperti hot dog tapi luarnya adalah corn bread). Jadi terpaksa selama dua hari itu aku hanya makan salad dan buah sementara ham sandwich dan corn dog itu aku kasih ke temanku yang lain. Sosis haram di USA karena terbuat dari daging babi. Ada salah satu kelas unik yang aku kunjungi. Agriculture class (karena Shelbyville adalah daerah pertanian) dan kami sempat berdiskusi banyak tentang agriculture di Indonesia dan Amerika. Aku sangat terbengong-bengong heran saat semua temanku yang ada di kelas menceritakan seberapa banyak lahan yang dimiliki oleh orang tuanya rata-rata sekitar 2000 acre (809 hektar). Sementara aku hanya menjawab memberi perkiraan kalau rata-rata petani di Indonesia hanya punya 10 acre (4 hektar). Pantas saja meskipun status mereka sebagai petani tetapi kehidupan mereka terutama dari ekonomi bisa dikatakan lebih dari cukup. Teknologi mempunyai peran andil yang cukup besar. Dengan lahan yang sebesar itu mereka tidak perlu bersusah payah untuk mengolah lahannya. Semuanya serba mesin. Mereka tetap bisa menabur benih dengan hanya duduk di dalam traktor penabur benih sambil mendengarkan music dan menyalakan ac. Sementara petani Indonesia masih bisa dikatakan tradisional. Terutama tragis rasanya jika mendengar Indonesia Negara agraris tetapi masih mengimpor seperti kedelai dari Negara lain. Mr. Marthen, guru agriculture dengan bercanda mengakhiri diskusi kami, “Hey, don’t forget if you also feed Indonesian with your soy bean.” Karena dia tahu bahwa salah satu tujuan ekspor kedelai di Amerika adalah Indonesia. Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Kapan ya Indonesia bisa jadi Negara agriculture beneran? Dan nasibnya petani jadi lebih baik lagi. Kebanyakan yang untung kalau di Indonesia hanya pedagangnya saja. Sudah lahan tidak seberapa besar, hasilnya tidak banyak, dan harga di pasaran jatuh. Cerita klasik yang selalu mengiringi kehidupan petani.