Rabu, 16 Februari 2011

Brunch at Consulate General of United States in Surabaya with Mr. Andrew Herrup

Tanggal 21 Januari 2011, aku mendapat telepon dari mbak Esty, staf dari Indonesia yang bekerja di Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, yang intinya adalah mengundangku dalam acara brunch beserta diskusi santai dengan Desk Officer of Departement State, yaitu Mr. Andrew Herrup. Dalam benak ku yang tertanam pertama kali adalah rasa kecewa (sedikit) karena pada tanggal 28-30 Januari itu aku sudah merencanakan untuk ikut dalam acara mid-year orientation Shugo dan Felix (dua siswa asing yang dihost di chapter Surabaya) yang sudah direncanakan akan dilaksanakan di Jogja. 

Rasa kecewa ku bisa sedikit terobati dengan menerapkan prinsip ilmu ekonomi mikro. Lho, apa hubungannya rasa kecewa dengan prinsip ilmu ekonomi mikro? Ternyata itu bisa dihubungkan. Salah satu dari prinsip ekonomi adalah "Orang menghadapi trade off", yang artinya adalah untuk mendapatkan sesuatu, maka orang harus mengorbankan sesuatu lainnya. Dan itu memang benar adanya, mau tidak mau aku harus memilih antara pergi ke Jogja atau datang memenuhi undangan dari Konsulat Jenderal. Akhirnya, aku memutuskan untuk datang memenuhi undangan brunch tersebut. 

Acara brunch itu dilaksanakan di rumah dinas Konsulat Jenderal. Menurut undangan, acara dimulai pukul 08.30. Sekilas kenangan memori 2,5 tahun silam, saat aku dan teman-teman lainnya mendapat undangan brunch sebelum kami berangkat ke Amerika. Saat memarkir motor di depan pos penjaga, sudah ada dua motor lain yang sudah terparkir. Dan aku mengira pasti sudah ada yang datang terlebih dahulu. Sampai akhirnya saat lapor ke pos penjaga dan bapak penjaga itu bilang kalau aku lah orang pertama yang datang. Setelah melapor, aku  diantar masuk dan mulai diperiksa barang bawaanku. Saat aku melirik jam tangan ku, jarum jam menunjuk pukul 08.15. Lucunya, bapak pemeriksa barang bawaanku sewaktu menemukan case tempat kamera ku, bapak itu berkata, "Ini tempat hape ya mbak?". Aku hanya tersenyum tanpa menjawab seraya dalam hati berkata "Ya Allah pak, masak nggak bisa bedain mana hape mana kamera." Setelah melewati pemeriksaan barang, aku masuk, terkejutnya dari dalam ada orang bertubuh tinggi besar memakai baju batik membukakan pintu dan memperkenalkan dirinya sebagai Michael. Michael kemudian memperkenalkan ku kepada seorang pria yang berdiri disampingnya. Untuk kesekian kalinya, ada sedikit rasa menyesal kenapa tinggi badan ku hanya 162 cm, seolah aku hilang diantara tubuh besar mereka (lebih menyesal lagi karena aku memakai flat shoes yang membuatku menjadi semakin pendek saja). Tampak di meja ada cangkir berisi kopi yang sepertinya milik Andrew. Dalam hati aku bergumam pasti Andrew ini sudah siap di tempat ini untuk menyambut kami. Untung saja aku datang lebih awal, kalau sampai telat betapa malunya aku. Orang yang mempunyai kedudukan penting dan sangat sibuk bahkan sudah siap dari awal untuk menyambut tamunya yang nota bene adalah remaja tanggung seusiaku. Lebih ironisnya lagi. banyak sekali yang datang terlambat. Aku juga tidak tahu kenapa sepertinya susah sekali bagi kita untuk datang tepat waktu. 

Oh ya aku lupa belum menjelaskan siapa sebenarnya Andrew ini. Jadi Andrew ini adalah Senior Country Officer, Office of Maritime South East Asian Affairs, Bureau of East Asian and Pacific Affairs, United States Department of State. Beliau di Indonesia hanya untuk 7 hari, 5 hari di Jakarta dan 2 hari di Surabaya. Lebih mengejutkan lagi, beliau dulu juga mengikuti program AFS ke Jepang (sedikit bangga ya setidaknya kami mempunyai ikatan dekat, yaitu sama-sama alumni AFS).

Inti dari acara brunch tersebut adalah untuk mengetahui pendapat para remaja yang pernah mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat beserta manfaat yang bisa diambil dari pengalaman tersebut. Nah Andrew ini nanti menyampaikan langsung hasil observasinya ke Departement of State. Nantinya hal tersebut akan menjadi pertimbangan Departement of State mengenai kelanjutan kerja sama di bidang pendidikan melalui program exchange itu. Di tempat itu juga aku bertemu dengan 3 exchange teachers dari program Fullbright. Satu pertanyaan ku yang belum terjawab, mengapa para guru itu memilih Indonesia? Apa sebenarnya yang mereka cari? Untuk belajar bahasa Indonesia kah? Tetapi bahasa Indonesia bukanlah bahasa Internasional seperti Spanyol, Arab, ataupun Mandarin. Tersenyum juga saat aku di Amerika dulu persis ditanya pertanyaan yang sama oleh orang Amerika yang mengetahui bahwa aku adalah exchange student "Why did you choose to come to United States?"

Meskipun seperti itu, aku belum bisa memahami, pengalaman apa yang mereka cari di Indonesia? Mungkin aku memang harus bertanya langsung kepada mereka.


brunch : brunch and lunch (jamuan makan yang waktunya pertengahan antara jam makan pagi dengan jam makan siang)


(Maaf tidak sempat mengambil foto karena memang waktunya tidak memungkinkan dan berhubung Andrew sangat sibuk dan waktunya terbatas)


Kamis, 25 November 2010

Mohon Maaf

Untuk sementara waktu blog ini belum aktif lagi dikarenakan laptop saya yang rusak dan harus menunggu untuk diperbaiki. Mudah-mudahan bulan depan sudah bisa dipakai lagi. Amin.... Karena sesungguhnya begitu banyak kisah yang ingin saya tulis di sini.


With Love,
Ines Latifah

Selasa, 13 Juli 2010

Kita dan Orang Tua Kita

"Sejak lahir, setiap hari ayah dan bunda memandikan kita dan memakaikan pakaian bersih, 3x sehari, 21x seminggu, 90x sebulan, 1080x setahun, lebih dari 6000x sampai kita bisa mandi sendiri. Di akhir hayatnya, ayah bunda tidak meminta, tapi dapatkah kita memandikannya dengan penuh kasih sayang dan memakaikan pakaian terakhirnya, yang cuma 1x?"

Itu adalah barisan sms yang dikirim oleh salah satu om ku ke ibu ku. Sempat tertegun saat ibu ku menunjukkan sms itu kepada ku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya diam tertegun. dan tidak bisa berkomentar apa pun. Sepenuhnya tulisan sms itu benar. Parents have done everything to us for our happiness. What we have done to them? Especially for the rest of their life?
Kata-kata yang berarti dan perlu kita cerna serta teladani baik-baik. Betapa kita punya the most precious thing in the whole world, yaitu orang tua kita.
Saya sudah tidak bisa berkomentar banyak lagi.

BIG BOYS DON'T CRY

Tanggal 12 Juli 2010 saat hendak tidur siang aku mendapat sms berisi berita duka yang mengabarkan bahwa ayah dari temanku (sebut saja temanku itu A) meninggal dunia akibat penyakit liver. Sempat terkejut mendengarnya karena aku tidak tahu bahwa ayah A sakit parah. Lagi-lagi aku merasa gagal menjadi seorang teman yang sesungguhnya, yaitu bukan hanya teman yang enak diajak hang out saja. Memang benar beberapa bulan yang lalu, si A pernah sms minta didoakan supaya kondisi ayahnya cepat sembuh tetapi ketika ku tanya ayahnya sakit apa, A tidak menjawab. Sehingga aku akhirnya lupa menanyakan kabar ayah A lagi yang aku kira sudah sembuh dan beraktivitas normal.
Saat menjabat tangan A dan menyatakan rasa bela sungkawa aku melihat matanya masih sembab dan berwarna merah. Sangat terlihat dia berusaha tegar menutupi gundah hatinya. Sosok tinggi besar A yang selalu dipenuhi senyum dan membuat orang tersenyum karena dia yang sering ngowoh tidak terlihat. Meskipun ruangan itu dipenuhi oleh teman-temannya yang mencoba mengobrol dan menceritakan hal-hal lucu dan juga membahas kemenangan Spanyol di piala dunia pun tidak menarik minatnya untuk larut dalam obrolan. Sesekali dia menunduk dan mengusap muka dengan lututnya dan dari ceritanya terkuaklah kalau ayahnya menderita penyakit sirosis dan itu semua baru diketahui 2 bulan terakhir. Saat mendengar ceritanya, aku tahu bahwa penyakit itu sudah cukup parah. Ditandai dengan perut yang membesar, kaki bengkak, dan muka menghitam. Sebelum meninggal teman ku, A itu yang menghabiskan waktu bersama ayahnya dengan menonton TV. Ayahnya sempat muntah darah sebelum akhirnya meninggal.
Di sini yang akan aku tekankan adalah temanku itu, A, sungguh hebat. Dia terlihat paling tegar dibanding kakak perempuannya atau ibunya. Dia dengan tegar mengantar ayahnya sampai ke pemakaman. Aku tidak melihat air mata yang mengalir dari matanya. Sementara ibunya sudah berteriak menangis histeris memanggil ayahnya itu, dan kakak perempuannya tidak mau pergi beranjak dari makam ayahnya itu sebelum akhirnya dipaksa oleh sanak keluarga yang lain dan kemudian kakak temanku itu pingsan. Temanku itu juga yang akhirnya membopong tubuh kakaknya.
Aku salut dengan temanku itu. Karena sebenarnya dia itu penakut. Waktu wisata di Wisata Bahari Lamongan (WBL), saat memasuki rumah sakit hantu yang hantunya merupakan boneka, dia menangis histeris, padahal dia laki-laki. Sesudah menaiki roller coaster dia pun menangis ketakutan, sementara dari semua teman cewek ku tidak ada yang histeris ketakutan oleh semua wahana itu.
Dari situ aku teringat perkataan seseorang yang pernah menyatakan rasa komplain.
"Betapa tidak enaknya menjadi seorang laki-laki. Jika aku boleh memilih, aku ingin menjadi seorang wanita sajalah. Enak, nggak ribet, nggak harus dituntut menjadi kuat, nggak harus dituntut selalu melindungi wanita. Laki-laki dituntut untuk melindungi wanita. Sementara siapa yang bertugas melindungi laki-laki kalau tidak laki-laki itu sendiri?"

Dari itu aku bisa menyimpulkan bahwa temanku itu sedang berperan sebagai kodratnya yaitu laki-laki. Jika dia tidak bisa tegar siapa yang bisa menjadi sandaran kakak perempuan dan ibu nya? Sterotipe masyarakat kah yang membentuk opini big boys don't cry atau kah itu kodrat dari Maha Esa yang harus mereka jalani? Aku tidak tahu. Semoga Allah memberi tempat terbaik untuk ayah teman ku itu di sisinya dan diampunkan semua salah dan dosanya serta diterima amal ibadahnya. Amin....Ya Robbal Alamin.....

Selasa, 25 Mei 2010

MEDIA.....OH.....MEDIA

kesalahan terbesar ku setelah aku balik dari amerika adalaha ku sama sekali tidak menyentuh blog ini. bahkan aku juga tidak membuat postingan baru. padahal di otak ini tersimpan banyak ide yang ingin segera dikeluarkan. tetapi karena alasan klasik (capek) dengan padatnya aktivitas sekolah sampai sore dan ditambah bimbingan belajar sampai malam memang cukup menguras energi. maka sesampai di rumah hal yang ingin sekali aku lakukan ya cuma tidur. konek dengan internet pun hanya untuk membuka email, facebook, dan terkadang bermain game online.
menjadi seorang siswa di kelas 12 SMA bukan perkara yang mudah karena tekanan yang ada sangat banyak dari luar. ya seperti unas misalnya. aku sudah berusaha untuk santai supaya unas tidak menjadi beban tetapi tetap saja itu menjadi beban yang tidak aku sadari. disamping itu juga harus ngebut melahap materi kelas 12 yang segunung ditambah aku yang harus mengingat memori pelajaran yang terkubur 2 tahun lalu bukan perkara mudah. harus kerja ekstra keras.
berbicara mengenai unas, tetap saja dari tahun ke tahun itu saja konfliknya. banyak yang menuntut unas dihapus, ya karena hasil unas itu tidak bisa digunakan untuk melanjutkan ke PTN dsb. pro dan kontra tidak ada habisnya jika membahas masalah unas. sekali lagi menurut aku seharusnya unas tidak perlu ditakutkan sama sekali. kepada mbak dan mas yang ada di media, seharusnya sebagai penunjang sarana komunikasi di Indonesia ini ya kalau bisa beritanya jangan dihebohkan. memang sih ilmu marketing harus dipakai tapi apa tidak memperhatikan kondisi psikis pembaca? misalnya ini dapat diambil sebagai contoh. ada salah satu sekolah menengah atas swasta yang kebetulan siswanya tidak lulus semua dan salah satu media menuliskan "Sekolah X 100% Tidak Lulus". padahal jumlah siswa dari sekolah tersebut hanya 6 orang. jelas saja konotasi pembaca yang membaca judul tidak lulus 100% akan segera berpikir bahwa ratusan anak dari sekolah itu tidak lulus karena umumnya tiap angkatan ada ratusan siswa. pasti akan didapat kesan berbeda saat tertulis "6 Siswa Sekolah X Tidak Lulus". terlihat jelas mana judul yang kiranya menjual.
kebetulan aku pernah menanyakan kepada seorang wartawan media cetak yang kebetulan mewawancaraiku mengenai masalah unas. dengan tanpa tedheng aling-aling aku penasaran bertanya apakah media cetak itu seperti produsen yang harus memenuhi dan memperhatikan selera konsumen? seperti penjual yang harus paham selera pembeli gitu yang tujuan akhirnya memang uang. dan jawabannya ternyata memang benar. terjawab sudahlah akhir rasa penasaranku selama ini. bahkan tu wartawan nantangin aku jika obsesiku nanti mendirikan media yang tidak money oriented, dan media yang aku bangun bisa bertahan sebulan (ga bangkrut) dia berjanji akan menggendong ku kemana-kemana mirip seperti syair lagunya mbah Surip.

Tak gendong kemana-mana, enak to mantep to..........

tapi siapa yang tahu jika obsesiku itu bisa terwujud nantinya. hal yang sedikit dilupakan wartawan itu adalah aku tidak mengatakan bahwa aku akan mengembangkan media cetak (yang memang butuh dana sangat besar). blog yang ku kembangkan ini juga merupakan salah satu media yang aku secara bebas mengeksplorasinya. lewat dunia maya, aku akan mengembangkannya (sudah mengembangkannya lewat blog ini).

wah, jadi mesti siap-siap digendong ni. pasti rasanya mantep...... seperti dalam lagunya si mbah surip. ha..ha..ha..ha..ha..

Minggu, 28 Juni 2009

I’m Happy and should be happy with My Life

I’m Happy and should be happy with My Life
The first day of summer, farewell party with Indonesian families.

21 Juni lalu adalah the first day of summer sekaligus merupakan hari terpanjang. Bayangkan saja maghribnya sekitar pukul 8.50 pm. Panas yang menyengat juga begitu terasa. Pukul 8 pagi suhu menunjukkan kisaran 90 F (32 C). Missouri memang panas, terutama saat summer. Kelembapan cukup tinggi tetapi terasa kering dan tidak ada angin yang berhembus. Maklum, jauh dari laut dan terletak ditengah. Indonesia memang panas dan lembab, tetapi bentuk kepulauan memberikan keuntungan tersendiri yaitu angin yang berhembus masih bisa dirasakan. Saat tanggal 23 juni lalu, yang merupakan panas tertinggi, rekor panas mencapai 100 F (38 C). Di tengah kota di St. Louis panas mencapai 110 F (43 C). dikabarkan juga 3 orang meninggal dunia akibat udara panas yang tinggi itu. Meskipun aku orang Indonesia yang biasa di daerah panas, aku juga tidak tahan dengan panasnya Missouri. Panasnya lain, terasa kering dan mengakibatkan sesak nafas serta badan lemas. Keringat pun tidak bisa mengalir lancar. Untuk itu dianjurkan minum air sebanyak mungkin agar tidak dehidrasi. Aku lebih memilih di dalam rumah dari pada ke luar rumah. Pernah suatu hari suhu 94 F (34 C) dan terlalu banyak di luar ruangan karena pool party, kepala sudah terasa berat, seperti mau pingsan.
Hari pertama di musim panas ini merupakan suatu reminder bagiku bahwa dalam beberapa hari ke depan aku akan meninggalkan rumah di sini (O’Fallon, Missouri), host family, dan teman-teman. Karena 28 Juni adalah hari terakhir tinggal di rumah host family dan pukul 3 pm pada hari itu juga harus berpisah dengan host family untuk last orientation sebelum kembali ke Negara masing-masing.
Menyadari itu, pak Landung (orang dari Nganjuk yang sudah lama tinggal di Amerika dan aku sudah menceritakan tentang dia dulu) tanggal 21 Juni lalu mengadakan semacam farewell party untuk ku dengan mengundang beberapa keluarga Indonesia dan juga host family ku. Sayangnya hanya mom yang bisa hadir sementara Paige tidak bisa hadir dikarenakan dia punya acara dengan ayahnya. 21 Juni di USA merupakan Father’s Day alias hari ayah. Biasanya anak akan merayakan seharian dengan ayahnya seperti memberikan hadiah dan juga dinner bersama. Acara ini aku lebih suka menyebutnya dengan Indonesian Day karena pasti makanan yang terhidang ala Indonesia. Sebut saja sebagai appetizer-nya (makanan pembuka) ada karedok, siomay, martabak telur, dan lumpia. Untuk main course-nya ada sate kambing, gulai daun singkong (tapi bahannya bukan daun singkong melainkan daun collar green), nugget ikan, dan mie ayam bakso. Sebagai dessert ada asinan sayur, pudding buah, es teler, dan ice cream.
Aku pun juga mengenalkan makanan itu ke mom. Aku salut karena dia juga mencoba hampir semua makanan kecuali sate kambing karena alasan kesehatan. Daging kambing tidak umum dimakan di USA. Saat mencoba karedok (aku bilangnya Indonesian salad with peanut sauce) mom bilang “It’s too spicy”. Aku hanya tertawa menyadari bahwa semangkuk besar karedok cabe-nya hanya 4 dan itu pun cabe rawit hijau. Saat aku tanya mom makanan apa yang menjadi favoritnya, dia menjawab “Lumpia”. Bahkan saat melihat lumpia terhidang di meja mom langsung mengenali itu adalah lumpia. Maklum aku cukup sering membuat lumpia terutama jika ada party, baik teman maupun keluarga selalu memintaku membuat lumpia.
Minggu terakhir tinggal bersama host family, hampir bisa dipastikan dinner bersama selalu menjadi momen spesial. Hari rabu (24 Juni 2009) mendapat undangan dinner dari tante Hera dan suaminya, om Alan. Tante Hera adalah orang Indonesia asli Jogja dan pindah ke USA saat high school dan sekarang bersuamikan om Alan, orang asli Amerika tetapi sangat fasih bicara bahasa Indonesia karena pernah tinggal selama 10 tahun di Jakarta. Om Alan ini masih sering berkunjung ke Indonesia, setidaknya setahun sekali karena dia juga masih punya perusahaan di Indonesia. Kenal tante Hera dari John yang merupakan volunteer di AFS dan kemudian tante Hera mengundang ku ke event yang dia pegang seperti Concert Jazz serta di acara culture night dalam rangka International Education Week di Principia College, Illinois-state. Yang lebih lucu lagi, meskipun yang asli orang Indonesia adalah tante Hera tetapi bahasa Indonesia om Alan jauh lebih bagus. Istilahnya bahasa Indonesia om Alan termasuk bahasa gaul percakapan sehari-hari sementara bahasa tante Hera cenderung kaku dan formal.
Tempat dinner kami adalah di restoran Emperor Palace di Chesterfield, Missouri. Hanya 20 menit dari O’Fallon. Yang mengesankan adalah restoran itu menawarkan bentuk buffet (kalau di Indonesia terkenal dengan nama All You Can Eat, alias ambil dan makan sepuasnya). Pemilik restaurant itu adalah orang Cina yang kenal baik dengan tante Hera karena berlatih Yoga di tempat yang sama. Buffet ini menawarkan makanan Asia. Ada stan Negara tersendiri. Dimulai paling ujung ada Jepang, Mongolia, Vietnam, dan China. Juga ada deretan dessert yang menggugah selera seperti cakes, ice cream, dan juga ada strawberry fondue yang merupakan sate strawberry dicelupkan ke air mancur coklat. Sungguh sangat lezat. Makanan yang membuatku tertarik adalah Mongolian BBQ. Jadi dalam satu mangkuk kita memilih bahan-bahan yang kita suka seperti sayuran, mie, daging, dan sea food. Bahkan kita juga memilih bumbunya juga. Ada lebih dari 20 jenis bumbu seperti fresh garlic, lemon, curry thai, oyster, sinchuan, bahkan juga ada sambal pedas. Si koki hanya tinggal memasak bahan-bahan beserta bumbu yang sudah kita pilih dalam mangkok. Memasaknya pun unik. Di masak di wajan bulat pipih yang sangat besar dan juga bersamaan dengan pesanan beberapa pengunjung lainnya. Memasaknya Cuma ditumis saja tanpa bahan tambahan. Tidak dibutuhkan waktu lama untuk menumis bahan-bahan itu. Karena dagingnya merupakan daging beku yang diiris sangat tipis sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk memasaknya. Sungguh di luar dugaan bahwa tante Hera kenal dan pernah berjumpa dengan Tanri Abeng (Mantan Menteri Negara Pemberdayaan BUMN Kabinet Pembangunan IV dan Kabinet Reformasi) [Mbak Dian, mohon dicek ulang itu masalah jabatan Tanri Abneg] saat Tanri Abeng mengikuti program AFS (American Field Service) sebagai exchange student, yang juga berstatus sama dengan statusku sekarang. Tante Hera bercerita bahwa dia sungguh tidak mengira jika Tanri Abeng ini yang dia temui di Amerika menjadi seorang Mentri di Indonesia kemudian harinya. Mungkin karena itulah baik tante Hera maupun om Alan menaruh ekspetasi yang cukup besar terhadap exchange student, khususnya yang dari Indonesia. Karena mereka beranggapan exchange student adalah pemimpin bangsa kelak karena mereka mempunyai kelebihan dalam better understanding terhadap dunia luar. Tiap tahun, tante Hera selalu bertanya kepada John mengenai exchange student dari Indonesia yang tinggal di daerah Missouri. Apakah benar kami selaku exchange students merupakan calon pemimpin bangsa kelak? Tidak ada yang tahu. Berakhirnya program AFS ini bukanlah akhir segalanya bagiku. Perasaan sedih memang ada untuk meninggalkan USA yang bagiku sudah merupakan seperti rumah tersendiri. Pulang kembali ke Indonesia bukan akhir dari segalanya, justru itu langkah awal untuk memulai lagi semuanya dengan baik berbekal pengalaman satu tahun yang tidak bisa dikatakan mudah. Seperti motto AFS, better learning better understanding, it’s not right it’s not wrong it’s just different. Terlebih aku juga mengharapkan program ini tidak berhenti sampai di sini saja. Semoga untuk selamanya program ini tetap ada dan memberikan scholarship bagi mereka yang berminat sungguh-sungguh dan mau belajar. Amin.

Senin, 15 Juni 2009

I LOVE SCHOOL

Asyiknya sekolah di Amrik

Belum genap sebulan sekolah usai tetapi aku sudah merindukan sekolah. Sekolah usai tanggal 19 Mei lalu bertepatan dengan hari terakhir ujian akhir bagi senior. Bagiku sekolah disini bukan hanya sekedar untuk menuntut ilmu tetapi juga hiburan. Bertemu dengan teman-teman dan materi yang diajarkan menarik. Ruangan kelas yang cukup luas serta fasilitas yang sangat lengkap, guru yang selalu ada sebelum dan sesudah jam sekolah. Aku benar-benar merindukan saat-saat seperti itu. Sangat terkejut saat aku menanyakan berapa biaya sekolah di USA sini. Mereka menjawab kalau semenjak di taman kanak-kanak hingga high school mereka tidak membayar apa pun alias gratis. Lucu juga mengingat di Indonesia ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang tujuannya agar mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama gratis dari biaya SPP. Tapi di lain itu siswa harus membayar seragam yang jauh lebih mahal dibanding jika beli sendiri di luar, membeli beberapa buku paket dan juga wajib membeli BKS (Buku Kerja Siswa) yang harganya juga mahal. Lalu dimana fungsi dari BOS yang katanya bertujuan meringankan biaya sekolah sehingga setiap anak berkesempatan memperoleh pendidikan? Kalau sebenarnya biaya selain SPP itu yang sangat mahal? Untuk buku paket, saat aku sekolah dipinjami secara gratis dan dalam kondisi bagus. Bukunya hard cover dan full color. Yellow pages saja tidak sebanding dengan besarnya buku paket yang dipinjami sekolah. Saat aku membawa pulang buku itu karena ada tugas, membawa dua buku sekaligus seolah mengangkut sekarung beras seberat 5 kg. Maka dari itu di USA sini setiap sekolah pasti ada loker yang digunakan untuk menyimpan buku atau barang lainnya keperluan sekolah. Tidak bisa membayangkan jika tidak ada loker mesti membawa buku setebal itu setiap hari ke sekolah. Selain itu juga ada bis sekolah yang siap mengantar jemput mereka secara gratis. Hanya perlu sign up saja, tidak ada biaya tambahan lain. Sekolah di USA sini bisa gratis dengan fasilitas yang lengkap karena pajak. Tiap orang disini pasti membayar pajak. Produk di toko ataupun di supermarket juga dikenakan pajak. Jadi uang yang kita belanjakan disini dan pajak yang kita bayar, pajak itu salah satunya digunakan untuk kepentingan pendidikan sehingga tidak dikenakan biaya apapun. Cukup terkejut saat beberapa minggu lalu menerima milis dari Forum Lingkar Pena (FLP) Jepang [Forum untuk para penulis Lingkar Pena Indonesia yang berdomisili di Jepang ataupun returnee] membahas mengenai beberapa sekolah yang tidak lulus 100% dan itu merupakan sekolah rintisan internasional. Menyadari itu aku terkejut betapa banyak sekolah negri di Indonesia yang berlomba-lomba untuk mendapatkan titel sekolah internasional dengan pengantar bahasa Inggris, menggunakan ruangan khusus, fasilitas khusus dsb, tetapi juga dengan biaya khusus yang fantastis. Apakah itu benar salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sekolah dan pendidikan? Atau itu hanyalah cara diskriminasi antara yang pintar dan bodoh atau kaya dan miskin. Atau itu hanyalah iklan dari sekolah untuk menjaring peminat? Bukankah sekolah didirikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945? Tidak semua manusia dilahirkan sangat cerdas. Bukan berarti aku tidak setuju dengan klasifikasi kelas khusus untuk anak cerdas. Bukankah akan lebih sangat indah jika yang cerdas membantu yang kurang cerdas untuk memahami pelajaran? Bukankah hakikat hidup itu seperti itu? Untuk apa menjadi cerdas jika hanya untuk diri sendiri? Seperti halnya di USA sini ada kegiatan tutoring, dimana siswa yang kemampuannya di atas rata-rata terhadap suatu mata pelajaran membantu temannya yang kurang paham dan itu dilakukan di luar jam pelajaran. Di USA sini syarat kelulusan berbeda dengan Indonesia. Mirip anak kuliahan dimana harus memenuhi angka credit tertentu. Credit untuk tahun ini adalah 22 dan mulai tahun depan akan dinaikkan menjadi 24. Jika belum bisa memenuhi credit, maka dipastikan tidak bisa lulus bersamaan dengan teman-teman yang lain. Tahun ini di Fort Zumwalt West (FZW) ada 6 orang yang tidak lulus karena credit-nya belum terpenuhi. Sungguh unik system pendidikan di Indonesia, terutama mengenai UAN. Bukankah tujuan dilaksanakannya UAN untuk menjaring siswa mana yang siap melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi? Kalau tujuan dilaksanakannya UAN untuk meluluskan semua siswa, maka kenapa harus ada UAN? Gagal bukan berarti kalah dengan segalanya. Seperti yang aku alami saat ini, aku gagal lulus SMA bersama teman-temanku yang lain, dan dipastikan aku tidak lulus SMA tahun ini karena tidak mengikuti UAN dan menjalani exchange student. Walau sebagian teman menertawakan, justru itu memacuku untuk lebih giat belajar lagi. Waktu bukanlah patokan. Ada berapa banyak mahasiswa yang gagal dalam mata kuliah dan mereka harus mengulang? Ada berapa banyak mahasiswa yang tidak bisa wisuda tepat waktu? Bukankah itu seperti lelucon mengetahui sekolah yang tidak lulus 100% karena curang malah diberi kesempatan untuk mengulang ujian? Sementara ada yang benar-benar jujur dan kebetulan tidak lulus malah tidak dapat kesempatan untuk mengulang ujian. Kapankah kita mulai menghargai kejujuran? Aku masih sangat ingat betul saat guruku precalculus, Mrs. Malach memotong habis nilai tugas seorang teman karena dia ketahuan mengcopy pekerjaan itu dari teman lainnya dan juga teman yang memberi contekan. Guru di USA relatif teliti dalam mengoreksi pekerjaan murid-muridnya, sehingga siapa yang suka mencontek pekerjaan orang lain pasti akan terlihat. Sementara itu di kelas Anatomy and Physiology, Mrs. Klem jauh terkenal lebih kejam. Saat ujian semester ada yang ketahuan mencontek, langsung nilai siswa tersebut mendapat nol. Aku merasakan bahwa nilai disini bukanlah patokan utama, tetapi kejujuran yang menjadi poin utama. Disini juga tidak ada sistem remidi. Tetapi jika kita jujur dengan usaha kita sendiri, guru disinipun tidak keberatan untuk membantu. Pernah sepulang sekolah Mrs. Klem membantuku mempelajari anatomy jantung babi karena aku masih belum jelas, bahkan dia dengan suka rela melakukan dissection lagi agar aku lebih paham. Malu juga menyadari kita yang dengan bangganya menyanjungkan bahwa Indonesia Negara timur, terkenal dengan keramahan dan sopan santunnya juga berbudi luhur, tetapi dalam hal simpel, masalah kejujuran terutama dalam ujian saja tidak terbukti. Tidakkah kita malu menjudge Amerika misalnya sebagai Negara tidak bermoral. Bukan bermaksud memihak salah satu pihak, tetapi siapa yang sebenarnya tidak bermoral? Kenapa kita tidak berkaca pada diri sendiri terlebih dahulu?